PERTANIAN - Bertani adalah salah satu profesi tertua di dunia, namun di Indonesia, pekerjaan ini semakin kehilangan daya tariknya. Banyak anak petani yang ogah meneruskan profesi orang tua mereka. Alasan utamanya? Bertani kerap dianggap sebagai pekerjaan penuh risiko, melelahkan, dan yang paling menyedihkan—tidak menguntungkan. Lalu, apakah benar bertani selalu merugi? Mengapa regenerasi petani semakin sulit? Dan bagaimana seharusnya kita menyikapi fenomena ini?
Ironi Pertanian: Kaya Sumber Daya, Tapi Petani Tetap Miskin
Indonesia dikenal sebagai negara agraris. Tanahnya subur, iklimnya mendukung, dan mayoritas penduduknya pernah memiliki hubungan dengan dunia pertanian, entah langsung atau tidak langsung. Namun, di balik kekayaan sumber daya ini, petani tetap menjadi kelompok yang rentan secara ekonomi.
Baca juga:
Prospek Usaha Budidaya Sayuran Hidroponik
|
Banyak faktor yang membuat petani sulit mendapatkan keuntungan. Pertama, biaya produksi yang tinggi. Harga pupuk, benih, dan pestisida terus naik, sementara harga jual hasil panen sering kali tidak sebanding. Kedua, sistem tata niaga yang kurang menguntungkan petani. Tengkulak atau perantara sering memainkan harga, sehingga petani tidak bisa menjual produk mereka dengan harga yang layak. Ketiga, ketidakpastian cuaca dan perubahan iklim semakin memperburuk kondisi. Kekeringan, banjir, atau serangan hama bisa menghancurkan panen dalam sekejap.
Mengapa Anak Petani Tidak Mau Jadi Petani? Fenomena ini bukan sekadar persoalan malas atau tidak berminat. Anak-anak petani tumbuh besar melihat langsung bagaimana sulitnya hidup sebagai petani. Mereka menyaksikan orang tua mereka bekerja keras dari pagi hingga malam, tetapi hasilnya tidak cukup untuk meningkatkan taraf hidup.
Bagi banyak anak petani, pendidikan adalah jalan keluar dari kemiskinan. Mereka memilih bekerja di kota, menjadi buruh, pegawai kantoran, atau bahkan merantau ke luar negeri sebagai tenaga kerja. Profesi-profesi ini mungkin tidak selalu mudah, tetapi dianggap lebih stabil dan menjanjikan dibanding bertani.
Ada juga persoalan gengsi. Bertani masih dianggap sebagai pekerjaan rendahan, tidak sekeren profesi lain yang berhubungan dengan teknologi atau jasa. Ini semakin diperparah dengan minimnya inovasi di sektor pertanian yang bisa menarik minat generasi muda.
Apa yang Bisa Dilakukan?
Jika kondisi ini terus dibiarkan, siapa yang akan menjadi petani di masa depan? Siapa yang akan memastikan ketahanan pangan bangsa ini? Perlu ada perubahan besar dalam cara pandang dan kebijakan terkait pertanian.
1. Modernisasi Pertanian: Generasi muda tertarik pada teknologi. Jika pertanian dibuat lebih modern dengan sistem pertanian berbasis teknologi (smart farming, IoT, drone untuk pemantauan lahan, hingga e-commerce untuk pemasaran), mungkin anak-anak petani akan melihat sektor ini sebagai peluang, bukan sebagai beban.
2. Sistem Tata Niaga yang Lebih Adil: Pemerintah harus lebih tegas dalam mengatur sistem distribusi hasil pertanian. Tengkulak yang merugikan petani harus diminimalisir. Model koperasi atau direct selling melalui platform digital bisa menjadi solusi agar petani bisa menjual hasil panennya langsung ke konsumen dengan harga yang lebih baik.
3. Perlindungan Harga dan Subsidi yang Tepat Sasaran: Harga pangan harus memiliki standar yang lebih stabil agar petani tidak mengalami kerugian besar ketika panen raya tiba. Subsidi pupuk dan alat pertanian juga harus benar-benar menyasar petani yang membutuhkan, bukan hanya menguntungkan kelompok tertentu.
4. Edukasi dan Promosi Profesi Petani: Pertanian harus dipromosikan sebagai profesi yang menjanjikan. Kisah sukses petani muda yang berhasil dengan teknik inovatif harus lebih sering diperkenalkan agar menginspirasi generasi berikutnya.
Bertani Harus Menjadi Profesi yang Menguntungkan
Selama bertani masih identik dengan kemiskinan dan kerugian, regenerasi petani akan tetap menjadi persoalan serius. Anak-anak petani tidak akan mau meneruskan pekerjaan yang tidak menjamin kesejahteraan. Oleh karena itu, sistem pertanian harus diperbaiki agar lebih modern, efisien, dan menguntungkan.
Jika perubahan ini tidak segera dilakukan, bukan tidak mungkin suatu hari nanti Indonesia yang kaya sumber daya malah bergantung pada impor pangan dari negara lain. Dan ketika itu terjadi, kita semua akan menyadari bahwa kehilangan petani bukan sekadar kehilangan profesi, tetapi kehilangan masa depan ketahanan pangan kita sendiri.
Jakarta, 20 Februari 2025
Hendri Kampai
Ketua Umum Jurnalis Nasional Indonesia/JNI/Akademisi